Menara Gading yang Retak: Dari Guru Besar ke Pemerkosa Akademik

30 kali dilihat

Dalam ruang akademik yang mestinya steril, praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) tumbuh seperti tumor yang dibiarkan—bukan karena tak terlihat, tapi karena semua telah kebal rasa.

Gelar guru besar yang seharusnya menggambarkan puncak intelektualitas, dedikasi terhadap ilmu pengetahuan, dan kehormatan akademik. Kini hanya menjadi hiasan kosong di balik toga, disandang tanpa ruh keilmuan. Lebih ironis lagi, banyak di antaranya justru menjelma menjadi pemerkosa akademik. Ya, sosok yang secara sadar mencederai etika keilmuan demi gengsi, jabatan, atau sekadar memenuhi syarat administratif.

Istilah pemerkosa akademik bukan hiperbola yang penulis buat. Ia lahir dari kenyataan bahwa sebagian oknum dosen, doktor, bahkan profesor, secara aktif menodai prinsip dasar dunia akademik. Fenomena penggunaan jasa joki untuk penulisan jurnal, pengajuan jabatan fungsional melalui karya rekayasa, hingga plagiat yang terang-terangan, mencerminkan rusaknya fondasi etika dalam pendidikan tinggi Indonesia.

Berbagai media massa telah menelanjangi praktik-praktik kotor ini: jurnal predator menjadi ladang publikasi instan, artikel pesanan bertebaran dengan nama-nama akademisi tenar, dan bahkan disertasi bergelar doktor tidak lepas dari tudingan penjiplakan, melibatkan salah satu menteri ternama. Di balik semua ini adalah ketakutan, kemalasan, dan sistem yang menghargai angka lebih dari kualitas. Maka tidak heran jika gelar “guru besar” hari ini tak lebih dari simbol administratif belaka—yang sah secara legal, namun cacat secara moral.

Di sinilah titik nadir menara gading itu: ketika kaum intelektual tak lagi menciptakan ilmu, melainkan memperkosanya demi ambisi pribadi. Ketika integritas dikorbankan di altar jabatan, dan mahasiswa tak lagi memiliki panutan atau hanya manut-manut aja tatkala diperintahkan oleh abangda.

Mereka menjelma menjadi pengajar yang lihai mengakali sistem. Maka, jangan heran bila publik mulai meragukan, bukan hanya kualitas lulusan, tapi juga kehormatan institusi akademik itu sendiri.

Menyelamatkan dunia akademik dari para pemerkosa ilmu membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem pengangkatan jabatan fungsional, pemantauan ketat terhadap publikasi ilmiah, dan penanaman nilai etika sejak dini kepada dosen dan mahasiswa. Etos ilmiah harus dibangun kembali dari nol dengan keberanian menindak tegas pelaku, meski mereka menyandang gelar dan jabatan mentereng.

Sudah waktunya kita berhenti menyembah gelar, dan mulai menakar integritas. Sebab guru besar sejati bukan yang banyak titel di depan nama, tapi yang jujur dalam berpikir, menulis, dan mengabdi kepada ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka guru besar akan tetap hanya sekadar nama, sementara pemerkosa akademik terus berkeliaran di balik dinding universitas.

Bagikan